Sabtu, 15 Juli 2017


Jiwa yang Sangat Dalam

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg



PADA waktu pasang sedang setinggi-tingginya, air mengalir lewat selat, seperti sungai pegunungan yang sedang banjir di lembah yang sempit. Angin buritan bertiup, dan perahu bergerak cepat di atas ombak. Sasuke tampak bangga. Ia ingin dipuji atas dayungannya hari itu.

Musashi duduk di tengah perahu, lututnya terbuka lebar. "Apa makan waktu lama kesana?" tanyanya.

"Tidak terlalu lama dengan air pasang ini, tapi kita terlambat."

"Mm."

"Sekarang jam delapan lebih."

"Ya, kukira begitu. Menurutmu, jam berapa sampai di sana?"

"Barangkali jam sepuluh atau lewat sedikit."

"Tepat sekali."

Langit yang dilihat Musashi hari itu—langit yang juga dilihat Ganryuberwarna biru dalam. Salju yang menutup punggung Pegunungan Nagato tampak seperti pita yang berkibar-kibar di langit tak berawan. Rumah-rumah di kota Mojigasaki dan lipatan-lipatan serta celah-celah Gunung Kazashi kelihatan terang. Di lereng-lereng gunung itu, rombongan-rombongan orang melayangkan pandang ke arah pulau-pulau.

"Sasuke, boleh aku ambil ini?"

"Apa itu?"

"Dayung rusak di dasar perahu ini."

"Saya tak butuh itu. Buat apa?"

"Hampir tepat ukurannya," kata Musashi tak jelas. Ia pegang dayung yang sudah sedikit tercelup air itu dengan satu tangan, lalu ia picingkan matanya untuk melihat kelurusannya. Salah satu ujungnya rompal.

Ia letakkan dayung itu di atas lutut, dan ia mulai asyik mengukirnya dengan pedang pendek. Beberapa kali Sasuke melontarkan pandang ke belakang, ke arah Shimonoseki, tapi Musashi kelihatan sudah lupa akan orang-orang yang ditinggalkannya. Beginikah cara samurai menghadapi pertempuran mati-matian? Bagi orang kota seperti Sasuke, kelihatannya dingin dan tawar.

Musashi selesai mengukir, lalu mengibaskan remah-remah kayu dari hakama-nya. "Ada sesuatu yang bisa kupakai sebagai selimut?" tanyanya.

"Apa Bapak kedinginan?"

"Tidak, tapi air ini memercik."

"Mestinya ada jas lapis di bawah tempat duduk itu."

Musashi mengambil pakaian itu, dan menutupkannya ke bahunya. Kemudian ia mengambil kertas dari dalam kimononya, ia gulung, dan ia pilin setiap lembarnya menjadi tali, ia pilin semuanya sambung-menyambung menjadi dua utas tali, yang kemudian ia pintal menjadi tasuki, pita yang biasa dipakai mengikat lengan baju waktu orang berkelahi. Sasuke sudah pernah mendengar bahwa membuat tasuki dari kertas adalah seni rahasia yang diturunkan dari angkatan satu ke angkatan yang lain, tapi Musashi kelihatan gampang saja membuatnya. Dengan penuh kekaguman Sasuke memperhatikan kecekatan jari-jarinya, dan keanggunan cara Musashi menggelincirkan tasuki itu di atas lengannya.

"Apa itu Funashima?" tanya Musashi sambil menuding.

"Bukan. Itu Hikojima, satu dari kelompok Hahajima. Funashima sekitar 1.000 meter ke timur laut. Pulau itu mudah dikenal, karena datar dan tampak seperti gosong. Di antara Hikojima dan Izaki ada Selat Ondo. Anda barangkali sudah pernah mendengarnya."

"Kalau begitu, di barat itu mestinya Dairinoura di Provinsi Buzen."

"Betul."

"Aku ingat sekarang. Ceruk-ceruk dan pulau-pulau sekitar daerah ini tempat menangnya Yoshitsune dalam pertempuran terakhir melawan Heike."

Setiap kali mendayung, Sasuke bertambah gelisah. Keringat dingin membasahi tubuhnya, dan jantungnya berdebar-debar. Rasanya ngeri bicara tentang hal-hal yang tak ada pertaliannya. Bagaimana mungkin orang pergi bertempur demikian tenang?

Ini perkelahian sampai mati. Soal itu tak disangsikan lagi. Apakah nanti ia akan membawa pulang penumpang ke daratan? Ataukah mayat yang sudah terpuntung-puntung dengan kejam? Tak mungkin mengetahui hal itu sekarang. Musashi, menurut pendapat Sasuke, seperti awan putih yang mengapung di langit.

Tapi itu bukanlah lagak yang dibuat-buat, karena sesungguhnya Musashi sendiri sama sekali tidak sedang memikirkan sesuatu. Bahkan boleh dikatakan ia sudah sedikit bosan.

Ia memandang ke sisi perahu, ke air biru yang berkisaran. Tempat itu dalam, dalam tak terbatas, dan penuh dengan kegiatan yang tampak seperti hidup abadi. Tapi air tidak memiliki bentuk tertentu, bentuk yang pasti. Apakah karena manusia memiliki bentuk tertentu, yang pasti, maka ia tidak dapat memiliki hidup kekal? Tidakkah hidup sebenarnya baru dimulai ketika bentuk nyata hilang?

Di mata Musashi, hidup dan maut kelihatan mirip sekali dengan buih. Bulu romanya terasa tegak, namun bukan karena air yang dingin, melainkan karena tubuhnya merasakan pertanda. Walau pikirannya telah membubung di atas hidup dan mati, namun tubuh dan pikiran itu belum bersesuaian. Apabila setiap pori dalam tubuh maupun pikirannya sudah lena, tak adalah yang tertinggal di alam dirinya, kecuali air dan awan.

Mereka melewati Ceruk Teshimachi di Pulau Hikojima. Mereka tak melihat bahwa ada sekitar empat puluh samurai yang berjaga di pantai. Semuanya pendukung Ganryu, dan kebanyakan mengabdi pada Keluarga Hosokawa. Mereka melanggar perintah Tadatoshi dan menyeberang ke Funashima dua hari lalu. Apabila Ganryu menderita kekalahan, mereka sudah siap membalas dendam.

Pagi itu, ketika Nagaoka Sado, Iwama Kakubei, dan orang-orang lain yang ditugaskan berjaga tiba di Funashima, mereka temukan rombongan samurai itu. Mereka kecam para samurai itu habis-habisan, dan mereka perintahkan pergi ke Hikojima. Tapi karena kebanyakan pejabat bersimpati pada mereka, maka mereka dapat pergi tanpa hukuman. Begitu mereka lepas dari Funashima, apa yang mereka lakukan bukan tanggung jawab pejabat lagi.

"Kau yakin itu Musashi?" seorang dari mereka bertanya. "Mestinya."

"Dia sendirian."

"Kelihatannya. Dia pakai jubah, atau entah apa itu, buat menutup bahu."

"Barangkali pakai zirah ringan yang mau disembunyikannya."

"Ayo!"

Dengan keinginan yang amat sangat untuk bertempur, mereka berduyun-duyun masuk perahu masing-masing, untuk berjaga-jaga. Semuanya bersenjatakan pedang, tapi di dasar masing-masing perahu tersimpan sebilah lembing panjang.

"Musashi datang!"

Teriakan itu terdengar sekitar Funashima beberapa saat kemudian.

Bunyi ombak, suara pohon-pohon pinus, dan gemeresik rumpun bambu bercampur lembut menjadi satu. Semenjak pagi, pulau kecil itu bersuasana sepi, walaupun sejumlah pejabat hadir di sana. Segumpal awan putih naik dari arah Nagato, menyerempet matahari, menggelapkan dedaunan pohon dan bambu. Sesudah awan lewat, suasana kembali terang.

Funashima pulau yang sangat kecil. Di ujung utara terdapat bukit rendah yang ditumbuhi pohon-pohon pinus. Di selatan, tanahnya datar pada ketinggian sekitar setengah bukit, sampai akhirnya pulau itu menurun menjadi beting.

Sebuah tirai digantungkan di antara beberapa pohon, tidak seberapa jauh dari pantai. Para pejabat dan pembantu mereka menanti dengan tenang dan tidak mencolok, karena tak ingin menimbulkan kesan pada Musashi bahwa mereka mencoba menaikkan martabat jagoan setempat.

Sekarang, dua jam sesudah waktu yang ditentukan, mereka mulai memperlihatkan kekuatiran dan kejengkelan. Dua kali mereka mengirimkan perahu cepat untuk meminta Musashi bergegas.

Pengintai dari batu karang berlari mendapatkan para pejabat, dan mengatakan, "Itu dia! Tak salah lagi."

"Betul-betul dia datang?" tanya Kakubei sambil bangkit tanpa disengaja. Dengan perbuatan itu, ia melakukan pelanggaran besar terhadap sopan santun. Sebagai saksi resmi, seharusnya ia tetap bersikap tenang dan menahan diri. Namun kegembiraannya itu wajar sekali, dan orang-orang lain di dalam rombongannya pun ikut berdiri.

Sadar akan kesalahannya, Kakubei mulai mengendalikan diri dan mendekati yang lain-lain untuk duduk kembali. Penting sekali bagi mereka untuk tidak memperlihatkan sikap pribadi lebih menyukai Ganryu untuk mewarnai tindakan atau keputusan mereka bersama. Kakubei memandang daerah tunggu Ganryu. Tatsunosuke telah menggantungkan tirai dengan hiasan bunga gentian di sebelah tirai terdapat ember kayu baru, dengan ciduk bergagang bambu. Ganryu, yang sudah tak sabar karena lama menanti, minta minum air, dan sekarang beristirahat dalam bayangan tirai.

Tempat Nagaoka Sado ada di sebelah Ganryu, sedikit lebih tinggi. la dikelilingi para pengawal dan pembantu, sedangkan Iori ada di sampingnya. Ketika pengintai datang membawa berita tersebut, wajah anak itu—bahkan juga bibirnya-berubah pucat. Sado duduk dalam sikap resmi, tetap tanpa gerak. Ketopongnya bergeser sedikit ke kanan, seakan-akan ia sedang memandang lengan kimononya. Dengan suara rendah ia panggil nama Iori.

"Ya, Pak." Iori membungkuk ke tanah, sebelum menengadah ke ketopong Sado. Karena tak dapat mengendalikan kegembiraannya, sekujur tubuhnya menggeletar.

"Iori," kata Sado, memandang langsung anak itu. "Perhatikan semua yang terjadi. Jangan lewatkan satu pun. Ingat-ingat, Musashi mempertaruhkan hidupnya buat mengajarkan padamu apa yang akan kausaksikan sendiri."

Iori mengangguk. Matanya meletikkan nyala, ketika ia menetapkan pandangan ke batu karang. Cipratan ombak putih yang mengempas ke batu karang itu menyilaukan matanya. Tempat itu sekitar dua ratus meter jauhnya, karena itu tak mungkin la melihat gerak-gerak kecil dan napas para petarung. Namun bukan segi-segi teknis yang diminta Sado untuk diperhatikannya, melainkan saat dramatis ketika seorang samurai memasuki perjuangan hidup dan mati. Inilah yang akan terus hidup di dalam pikirannya, dan mempengaruhinya sepanjang hidup.

Rumput bergoyang naik dan turun. Serangga-serangga kehijauan melejit ke sana kemari. Seekor kupu-kupu kecil yang lembut bergerak dari lembar rumput yang satu ke lembar lain, kemudian tak kelihatan lagi. "Dia hampir sampai," gagap Iori.

Perahu Musashi menghampiri batu karang pelan-pelan. Hampir tepat jam sepuluh waktu itu.


Ganryu berdiri dan berjalan tenang menuruni bukit kecil di belakang pos penantian. Ia membungkuk kepada para pejabat di sebelah kanan dan kirinya, lalu berjalan diam melintasi rumput, ke pantai.

Jalan masuk pulau itu mirip sebuah teluk kecil. Di situ gelombang berubah menjadi ombak-ombak kecil, kemudian menjadi riak-riak air semata. Musashi dapat melihat dasarnya lewat air yang biru jernih.

"Di mana mesti mendarat?" tanya Sasuke yang melembutkan gerak dayungnya, dan meninjau pantai dengan matanya.

"Lurus saja." Musashi melontarkan mantel lapisnya.

Haluan perahu maju dengan sangat perlahan. Sasuke tak dapat memaksa diri mendayung dengan kuat. Kedua tangannya hanya sedikit bergerak, dan ia hanya sedikit mengerahkan tenaga. Bunyi burung bulbul terdengar di udara.

"Sasuke."

"Ya, Pak."

"Cukup dangkal di sini. Tak perlu terlalu masuk. Tak perlu merusakkan perahu. Dan lagi, sudah waktunya pasang balik."

Diam-diam Sasuke memusatkan pandangan pada pohon pinus yang tinggi kurus dan tegak sendirian. Di bawahnya angin memainkan sebuah jubah merah cemerlang.

Sasuke hendak menunjuk, tapi kemudian sadar bahwa Musashi sudah melihat lawannya. Sambil terus menatap Ganryu, Musashi mengambil saputangan warna cokelat muda dari dalam obi-nya, melipatnya dua kali membujur, kemudian mengikatkan ke rambutnya yang tertiup angin. Lalu ia pindahkan pedang panjangnya, ia letakkan ke dasar perahu, dan ia tutupi dengan tikar buluh. Dengan tangan kanan ia genggam pedang kayu yang ia buat dari dayung rusak tadi.

"Ini cukup jauh," katanya pada Sasuke.

Di hadapan mereka, air masih hampir enam puluh meter lebarnya. Sasuke membuat beberapa tarikan panjang dayung buritan. Perahu mendompak dan mendarat ke beting, hingga lunasnya bergetar.

Waktu itulah Musashi melompat ringan ke dalam laut, dengan hakama terkait tinggi di kedua sisinya. Ia mendarat begitu ringan, hingga air hampir tidak berkecipak. Lalu ia melangkah cepat ke garis air, sementara pedang kayunya memotong cipratan air.

Lima langkah. Sepuluh langkah. Sasuke sudah lupa akan dayungnya. Ia memperhatikan dengan terpesona, tak sadar di mana ia berada, dan apa yang sedang ia lakukan.

Ganryu meluncur meninggalkan pohon pinus, seperti sehelai pita merah. Sarung pedangnya yang disemir, berkilau oleh sinar matahari.

Sasuke teringat akan ekor rubah perak. "Cepat!" perkataan itu melintas dalam pikirannya, tapi waktu itu juga Ganryu sudah sampai di tepian air. Yakin bahwa Musashi pasti tewas, ia tak tahan melihat. Ia jatuh dengan wajah telungkup ke perahu, tubuhnya dingin gemetar. la sembunyikan wajahnya, seakan-akan ia sendirilah yang setiap saat akan terbelah menjadi dua.

"Musashi!"

Ganryu menancapkan kaki dengan mantap di pasir, tak hendak mundur satu inci pun.

Musashi berhenti dan berdiri diam, menjadi permainan air dan angin. Wajahnya tampak menyeringai.

"Kojiro," katanya tenang. Matanya memancarkan keganasan yang menakutkan, mata dengan kekuatan yang dapat menyeret demikian dahsyat, hingga mengancam dan menghela Kojiro tanpa dapat ditawar-tawar lagi ke dalam bencana dan kehancuran. Ombak membasahi pedang kayunya.

Mata Ganryu menembakkan api. Nyala haus darah berkobar di dalam bola matanya, seperti pelangi pekat padat yang menggertak dan melemaskan.

"Musashi!"

Tak ada jawaban.

"Musashi!"

Laut berdebur penuh pertanda di kejauhan; air pasang berdesir dan berbisik di kaki kedua orang itu.

"Kau terlambat lagi, ya? Apa itu strategimu? Menurutku, itu cara pengecut! Sekarang ini dua jam lewat waktu yang ditentukan. Aku datang jam delapan, tepat seperti kujanjikan. Aku menanti!"

Musashi tak menjawab.

"Kau pernah melakukan ini di Ichijoji, dan sebelum itu di Rengeoin. Rupanya kau sengaja ingin menjatuhkan lawan dengan memaksanya menunggu. Akal macam itu takkan membawamu ke mana-mana, kalau lawanmu Ganryu. Sekarang siapkan dirimu dan maju dengan berani, supaya angkatan kemudian takkan menertawakanmu. Ayo maju dan bertempur, Musashi!" Ujung sarung pedangnya mencuat tinggi di belakangnya, ketika ia menarik Galah Pengering yang besar itu. Dengan tangan kiri ia loloskan sarung pedang itu, dan ia lemparkan ke air.

Sesudah menanti cukup lama, sampai ombak mengempas ke batu karang dan surut kembali ke laut, Musashi tiba-tiba berkata dengan suara tenang, "Kau kalah, Kojiro!"

"Apa?" Ganryu kaget setengah mati.

"Pertarungan sudah selesai. Kau kalah, kataku."

"Kau bicara apa?"

"Kalau kau bakal menang, kau takkan membuang sarung pedangmu. Kau telah membuang masa depanmu, hidupmu."

"Kata-kata saja! Omong kosong!"

"Sayang sekali, Kojiro. Sudah siap jatuh? Kau mau cepat?"

 "Ayo... ayo maju, bajingan!"

"Ho-o-o!" Teriakan Musashi dan bunyi air bergabung membubung menjadi satu.

Ganryu melangkah ke dalam air, Galah Pengering diangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Ia hadapi Musashi langsung. Garis buih putih melintas di permukaan laut, ketika Musashi berlari naik pantai ke sisi kiri Ganryu. Ganryu mengejar.

Begitu kaki Musashi meninggalkan air dan menyentuh pasir, hampir pada saat itu juga pedang dan seluruh tubuh Ganryu melontar kepadanya, seperti ikan terbang. Musashi merasa Galah Pengering mengarah kepadanya, padahal tubuhnya masih berada pada akhir gerak yang tadi membawanya keluar dari air, dan sedang condong sedikit ke depan.

Ia pegang pedang kayunya dengan kedua tangan, terjulur ke kanan, ke arah belakang tubuh, sedikit tersembunyi. Puas dengan kedudukannya, ia setengah bergumam dengan suara hampir tak berbunyi, mengembus ke depan wajah Ganryu. Galah Pengering kelihatannya sudah hampir turun menebas, namun pedang itu bergetar sedikit, kemudian berhenti. Tiga meter dari Musashi, Ganryu mengubah arah dengan melompat cekatan ke kanan.

Kedua orang itu saling pandang. Musashi, yang berada dua-tiga langkah dari air, membelakangi laut. Ganryu menghadapinya dengan pedang teracung tinggi dalam kedua tangan.

Hidup mereka berdua sama-sama terserap ke dalam pertarungan mematikan itu, dan keduanya sama-sama kosong dari pikiran sadar.

Adegan pertempuran itu terhenti sempurna. Tapi di pos-pos penantian dan di atas bunyi ombak, tak terhitung jumlahnya orang menahan napas. Di atas Ganryu melayang-layang doa dan harapan orang-orang yang percaya kepadanya dan menginginkannya hidup terus, sedangkan di atas

Musashi doa dan harapan dari orang-orang lain lagi. Dari Sado dan Iori yang ada di pulau itu. Dari Otsu, Osugi, dan Gonnosuke di pantai Shimonoseki. Dari Akemi dan Matahachi di bukit mereka di Kokura. Seluruh doa mereka tertuju ke surga.

Di sini harapan, doa, dan dewa-dewa tak mampu membantu, tidak juga kesempatan. Yang ada hanya kekosongan tidak berpribadi dan sepenuhnya tidak memihak.

Apakah kekosongan ini, yang demikian sukar dicapai oleh orang hidup, merupakan ekspresi jiwa yang sempurna, yang telah berhasil mengatasi pikiran dan gagasan-gagasan yang lebih mulia?

Kedua orang itu bicara tanpa membuka suara. Kemudian masing-masing, tanpa sadar, menyadari kehadiran pihak lainnya. Pori-pori mereka menonjol seperti jarum-jarum yang terarah pada lawan.

Otot, daging, kuku, rambut, bahkan alis-semua unsur tubuh yang mengambil bagian dalam hidup ini-bergabung menjadi satu kekuatan tunggal melawan musuh, mempertahankan organisme hidup yang menjadi induknya. Hanya jiwa itu sendiri yang bersatu dengan alam semesta, jernih dan tenteram, seperti pantulan bulan di atas air kolam, di tengah topan yang mengamuk. Bisa mencapai kediaman yang luhur lm merupakan pencapaian yang sungguh luar biasa.

Jeda itu serasa berlangsung beribu tahun, padahal sesungguhnya singkat saja, sepanjang waktu yang dibutuhkan oleh ombak untuk datang dan menarik diri setengah lusin kali.

Kemudian satu pekik dahsyat—yang bukan sekadar suara, dan berasal dari dalam lubuk makhluk hidup-memorakporandakan detik penuh ketegangan tersebut. Pekik itu datang dari Ganryu, yang segera disusul pekikan Musashi.

Kedua orang itu berteriak seperti ombak yang marah melecut pantai karang, melambungkan semangat mereka ke langit. Pedang si penantang terangkat sedemikian tinggi, hingga seakan mengancam matahari dan membelah udara seperti pelangi.

Musashi mendorong bahu kirinya ke depan, menarik kaki kanannya ke belakang, dan mengubah letak tubuh bagian atas pada kedudukan setengah menghadap lawan. Pedang kayu yang dipegangnya dengan dua tangan, menyapu menembus udara, dan serentak dengan itu, ujung Galah Pengering turun langsung di depan hidungnya.

Napas kedua orang yang sedang berlaga itu terdengar lebih keras dari bunyi ombak. Sekarang pedang kayu dijulurkan pada ketinggian mata, sedangkan Galah Pengering jauh di atas pembawanya. Ganryu meloncat sekitar sepuluh langkah, dan laut kini ada di sisinya. Walaupun tak berhasil melukai Musashi dengan serangan pertama, ia berhasil meletakkan dirinya pada kedudukan yang lebih baik. Sekiranya ia tinggal pada kedudukan semula, dengan pantulan sinar matahari di air yang menerjang matanya, pandangannya pasti akan segera goyah, kemudian juga semangatnya, dan ia akan jatuh dalam kekuasaan Musashi.

Dengan keyakinan yang sudah diperbarui, Ganryu mulai beringsut ke depan dan terus menajamkan pandangan, mencari peluang dalam pertahanan Musashi. Ia membajakan semangatnya sendiri, untuk melakukan gerakan yang menentukan.

Sementara itu, Musashi membuat gerakan tak terduga. Ia bukannya maju pelan-pelan dan hati-hati, tapi melangkah tegap ke arah Ganryu, pedangnya terulur di depan, siap dihunjamkan ke mata Ganryu. Kesederhanaan caranya itu membuat Ganryu tertegun. Ia hampir kehilangan pandangan atas Musashi.

Pedang kayu Musashi terangkat lurus di udara. Dengan satu tolakan besar, Musashi melompat tinggi, dan sambil melipat kaki ia mengecilkan tubuhnya yang tingginya 180 senti itu menjadi 120 senti atau kurang.

"Y a-a-ah!" Pedang Ganryu menjerit membelah ruang di atasnya. Pukulannya tak mengena, tapi ujung Galah Pengering menetak ikat kepala Musashi, hingga ikat kepala itu terbang ke udara.

Ganryu mengira ikat kepala itu kepala lawan, dan seulas senyum meletik singkat di wajahnya. Tapi detik berikutnya batok kepalanya pecah seperti kerikil, terkena pukulan pedang Musashi.

Ganryu terbaring di batas antara pasir dan rumput. Di wajahnya tak terlihat kesadaran akan kekalahan. Darah mengalir dari mulutnya, tapi bibirnya menyunggingkan senyum kemenangan.


"Oh, tidak!"

"Ganryu!"

Lupa akan dirinya, Iwama Kakubei meloncat dengan wajah terguncang, begitu pula semua pengiringnya. Kemudian terlihat olehnya Nagaoka Sado dan Iori yang duduk tenang dan sabar di bangku mereka. Merasa malu, mereka menahan diri untuk tidak lari ke depan. Sedapatnya mereka mencoba memperoleh kembali ketenangan, namun kesedihan dan kekecewaan tak dapat disembunyikan. Beberapa orang sukar menelan ludah, dan tak hendak mempercayai apa yang mereka lihat. Otak mereka jadi kosong.

Dalam sesaat, pulau itu senyap dan diam, seperti sebelumnya.

Hanya gemeresik pohon pinus dan rumput yang berayun-ayun mengejek kerapuhan dan kefanaan umat manusia.

Musashi memperhatikan segumpal awan kecil di langit. Ketika itulah jiwanya kembali ke tubuhnya, dan baru waktu itulah ia melihat beda antara awan dan dirinya, antara tubuhnya dan alam semesta.

Sasaki Kojiro Ganryu tidak kembali ke dunia orang hidup. Ia terbaring tertelungkup dengan tangan masih mencengkeram pedang. Ketangguhan masih tampak pada sosoknya. Pada wajahnya tak ada tanda-tanda penderitaan. Tiada lain kecuali kepuasan, karena telah menjalani perkelahian yang baik, dan tak ada sedikit pun bayangan penyesalan.

Melihat ikat kepalanya sendiri tergeletak di tanah, Musashi jadi menggigil. Takkan pernah lagi dalam hidupnya ia menjumpai lawan seperti ini, demikian pikirnya. Gelombang rasa kagum dan hormat melandanya. Ia berterima kasih pada Kojiro atas apa yang telah diberikan kepadanya. Dalam hal kekuatan, dalam hal tekad tempur, Kojiro setingkat lebih tinggi dari Musashi. Justru karena itulah Musashi terpaksa mesti meningkatkan kemampuan dirinya sendiri, hingga bisa lebih hebat lagi dari Kojiro.

Apa gerangan yang memungkinkan Musashi mengalahkan Kojiro? Keterampilannya? Bantuan para dewa? Musashi tahu bahwa bukan itu jawabannya, namun ia tak pernah dapat mengungkapkan alasan itu dalam kata-kata. Sudah pasti alasan itu sesuatu yang lebih penting daripada kekuatan ataupun pertolongan dewa.

Kojiro meletakkan keyakinannya pada pedang kekuatan dan keterampilan. Musashi mempercayakannya pada pedang semangat. Itulah satu-satunya beda di antara mereka.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Musashi berjalan menempuh sepuluh langkah yang memisahkan dirinya dari Kojiro, dan berlutut di sampingnya. Ia letakkan tangan kirinya ke dekat lubang hidung Kojiro, dan ia rasakan masih ada jejak napas. "Dengan perawatan yang tepat, dia masih bisa pulih," kata Musashi pada diri sendiri. Ia ingin mempercayai kata-katanya itu, dan ia ingin mempercayai juga, bahwa orang yang paling gagah berani di antara semua lawannya itu akan diselamatkan.

Tapi pertempuran sudah usai. Sudah waktunya ia pergi.

"Selamat tinggal," katanya pada Kojiro, kemudian kepada para pejabat yang duduk di bangku.

la bersujud satu kali ke bumi, kemudian lari ke batu karang, dan melompat ke dalam perahu. Tidak setetes darah pun menodai pedang kayunya.

Perahu kecil itu melaut. Siapa yang tahu, ke mana arahnya? Tak ada catatan, apakah para pendukung Ganryu di Pulau Hikojima mencoba membalas dendam.

Manusia tak pernah meninggalkan rasa cinta dan benci selama hidupnya. Gelombang perasaan datang dan pergi, bersama seiring dengan waktu. Sepanjang hidup Musashi, ada saja orang-orang yang membenci kemenangannya dan mengecam tingkah lakunya pada hari itu. Dikatakan, ia bergegas pergi karena takut akan pembalasan. Ia bingung. Ia bahkan lalai memberikan pukulan untuk mengakhiri derita Kojiro.

Dunia ini selalu penuh dengan bunyi gelombang.

Ikan-ikan kecil menyerahkan diri mereka kepada gelombang, menari, menyanyi, dan bermain, tapi siapa yang bisa mengenal hati laut tiga puluh meter di bawahnya? Siapa yang kenal akan kedalamannya?


(TAMAT)

Popular Posts

ARSIP