Jiwa yang Sangat
Dalam
PADA waktu pasang
sedang setinggi-tingginya, air mengalir lewat selat, seperti sungai pegunungan
yang sedang banjir di lembah yang sempit. Angin buritan bertiup, dan perahu
bergerak cepat di atas ombak. Sasuke tampak bangga. Ia ingin dipuji atas
dayungannya hari itu.
Musashi duduk di
tengah perahu, lututnya terbuka lebar. "Apa makan waktu lama kesana?"
tanyanya.
"Tidak terlalu
lama dengan air pasang ini, tapi kita terlambat."
"Mm."
"Sekarang jam
delapan lebih."
"Ya, kukira
begitu. Menurutmu, jam berapa sampai di sana?"
"Barangkali jam
sepuluh atau lewat sedikit."
"Tepat
sekali."
Langit yang dilihat
Musashi hari itu—langit yang juga dilihat Ganryuberwarna biru dalam. Salju yang
menutup punggung Pegunungan Nagato tampak seperti pita yang berkibar-kibar di
langit tak berawan. Rumah-rumah di kota Mojigasaki dan lipatan-lipatan serta
celah-celah Gunung Kazashi kelihatan terang. Di lereng-lereng gunung itu,
rombongan-rombongan orang melayangkan pandang ke arah pulau-pulau.
"Sasuke, boleh
aku ambil ini?"
"Apa itu?"
"Dayung rusak di
dasar perahu ini."
"Saya tak butuh
itu. Buat apa?"
"Hampir tepat
ukurannya," kata Musashi tak jelas. Ia pegang dayung yang sudah sedikit
tercelup air itu dengan satu tangan, lalu ia picingkan matanya untuk melihat
kelurusannya. Salah satu ujungnya rompal.
Ia letakkan dayung
itu di atas lutut, dan ia mulai asyik mengukirnya dengan pedang pendek.
Beberapa kali Sasuke melontarkan pandang ke belakang, ke arah Shimonoseki, tapi
Musashi kelihatan sudah lupa akan orang-orang yang ditinggalkannya. Beginikah
cara samurai menghadapi pertempuran mati-matian? Bagi orang kota seperti
Sasuke, kelihatannya dingin dan tawar.
Musashi selesai
mengukir, lalu mengibaskan remah-remah kayu dari hakama-nya. "Ada sesuatu
yang bisa kupakai sebagai selimut?" tanyanya.
"Apa Bapak
kedinginan?"
"Tidak, tapi air
ini memercik."
"Mestinya ada
jas lapis di bawah tempat duduk itu."
Musashi mengambil
pakaian itu, dan menutupkannya ke bahunya. Kemudian ia mengambil kertas dari
dalam kimononya, ia gulung, dan ia pilin setiap lembarnya menjadi tali, ia
pilin semuanya sambung-menyambung menjadi dua utas tali, yang kemudian ia
pintal menjadi tasuki, pita yang biasa dipakai mengikat lengan baju waktu orang
berkelahi. Sasuke sudah pernah mendengar bahwa membuat tasuki dari kertas
adalah seni rahasia yang diturunkan dari angkatan satu ke angkatan yang lain,
tapi Musashi kelihatan gampang saja membuatnya. Dengan penuh kekaguman Sasuke
memperhatikan kecekatan jari-jarinya, dan keanggunan cara Musashi
menggelincirkan tasuki itu di atas lengannya.
"Apa itu
Funashima?" tanya Musashi sambil menuding.
"Bukan. Itu
Hikojima, satu dari kelompok Hahajima. Funashima sekitar 1.000 meter ke timur
laut. Pulau itu mudah dikenal, karena datar dan tampak seperti gosong. Di
antara Hikojima dan Izaki ada Selat Ondo. Anda barangkali sudah pernah
mendengarnya."
"Kalau begitu,
di barat itu mestinya Dairinoura di Provinsi Buzen."
"Betul."
"Aku ingat
sekarang. Ceruk-ceruk dan pulau-pulau sekitar daerah ini tempat menangnya
Yoshitsune dalam pertempuran terakhir melawan Heike."
Setiap kali
mendayung, Sasuke bertambah gelisah. Keringat dingin membasahi tubuhnya, dan
jantungnya berdebar-debar. Rasanya ngeri bicara tentang hal-hal yang tak ada
pertaliannya. Bagaimana mungkin orang pergi bertempur demikian tenang?
Ini perkelahian
sampai mati. Soal itu tak disangsikan lagi. Apakah nanti ia akan membawa pulang
penumpang ke daratan? Ataukah mayat yang sudah terpuntung-puntung dengan kejam?
Tak mungkin mengetahui hal itu sekarang. Musashi, menurut pendapat Sasuke,
seperti awan putih yang mengapung di langit.
Tapi itu bukanlah
lagak yang dibuat-buat, karena sesungguhnya Musashi sendiri sama sekali tidak
sedang memikirkan sesuatu. Bahkan boleh dikatakan ia sudah sedikit bosan.
Ia memandang ke sisi
perahu, ke air biru yang berkisaran. Tempat itu dalam, dalam tak terbatas, dan
penuh dengan kegiatan yang tampak seperti hidup abadi. Tapi air tidak memiliki
bentuk tertentu, bentuk yang pasti. Apakah karena manusia memiliki bentuk
tertentu, yang pasti, maka ia tidak dapat memiliki hidup kekal? Tidakkah hidup
sebenarnya baru dimulai ketika bentuk nyata hilang?
Di mata Musashi,
hidup dan maut kelihatan mirip sekali dengan buih. Bulu romanya terasa tegak,
namun bukan karena air yang dingin, melainkan karena tubuhnya merasakan
pertanda. Walau pikirannya telah membubung di atas hidup dan mati, namun tubuh
dan pikiran itu belum bersesuaian. Apabila setiap pori dalam tubuh maupun
pikirannya sudah lena, tak adalah yang tertinggal di alam dirinya, kecuali air
dan awan.
Mereka melewati Ceruk
Teshimachi di Pulau Hikojima. Mereka tak melihat bahwa ada sekitar empat puluh
samurai yang berjaga di pantai. Semuanya pendukung Ganryu, dan kebanyakan mengabdi
pada Keluarga Hosokawa. Mereka melanggar perintah Tadatoshi dan menyeberang ke
Funashima dua hari lalu. Apabila Ganryu menderita kekalahan, mereka sudah siap
membalas dendam.
Pagi itu, ketika
Nagaoka Sado, Iwama Kakubei, dan orang-orang lain yang ditugaskan berjaga tiba
di Funashima, mereka temukan rombongan samurai itu. Mereka kecam para samurai
itu habis-habisan, dan mereka perintahkan pergi ke Hikojima. Tapi karena
kebanyakan pejabat bersimpati pada mereka, maka mereka dapat pergi tanpa
hukuman. Begitu mereka lepas dari Funashima, apa yang mereka lakukan bukan
tanggung jawab pejabat lagi.
"Kau yakin itu
Musashi?" seorang dari mereka bertanya. "Mestinya."
"Dia
sendirian."
"Kelihatannya.
Dia pakai jubah, atau entah apa itu, buat menutup bahu."
"Barangkali
pakai zirah ringan yang mau disembunyikannya."
"Ayo!"
Dengan keinginan yang
amat sangat untuk bertempur, mereka berduyun-duyun masuk perahu masing-masing,
untuk berjaga-jaga. Semuanya bersenjatakan pedang, tapi di dasar masing-masing
perahu tersimpan sebilah lembing panjang.
"Musashi
datang!"
Teriakan itu terdengar
sekitar Funashima beberapa saat kemudian.
Bunyi ombak, suara
pohon-pohon pinus, dan gemeresik rumpun bambu bercampur lembut menjadi satu.
Semenjak pagi, pulau kecil itu bersuasana sepi, walaupun sejumlah pejabat hadir
di sana. Segumpal awan putih naik dari arah Nagato, menyerempet matahari,
menggelapkan dedaunan pohon dan bambu. Sesudah awan lewat, suasana kembali
terang.
Funashima pulau yang
sangat kecil. Di ujung utara terdapat bukit rendah yang ditumbuhi pohon-pohon
pinus. Di selatan, tanahnya datar pada ketinggian sekitar setengah bukit,
sampai akhirnya pulau itu menurun menjadi beting.
Sebuah tirai
digantungkan di antara beberapa pohon, tidak seberapa jauh dari pantai. Para
pejabat dan pembantu mereka menanti dengan tenang dan tidak mencolok, karena
tak ingin menimbulkan kesan pada Musashi bahwa mereka mencoba menaikkan
martabat jagoan setempat.
Sekarang, dua jam
sesudah waktu yang ditentukan, mereka mulai memperlihatkan kekuatiran dan
kejengkelan. Dua kali mereka mengirimkan perahu cepat untuk meminta Musashi
bergegas.
Pengintai dari batu
karang berlari mendapatkan para pejabat, dan mengatakan, "Itu dia! Tak
salah lagi."
"Betul-betul dia
datang?" tanya Kakubei sambil bangkit tanpa disengaja. Dengan perbuatan
itu, ia melakukan pelanggaran besar terhadap sopan santun. Sebagai saksi resmi,
seharusnya ia tetap bersikap tenang dan menahan diri. Namun kegembiraannya itu
wajar sekali, dan orang-orang lain di dalam rombongannya pun ikut berdiri.
Sadar akan
kesalahannya, Kakubei mulai mengendalikan diri dan mendekati yang lain-lain
untuk duduk kembali. Penting sekali bagi mereka untuk tidak memperlihatkan
sikap pribadi lebih menyukai Ganryu untuk mewarnai tindakan atau keputusan
mereka bersama. Kakubei memandang daerah tunggu Ganryu. Tatsunosuke telah
menggantungkan tirai dengan hiasan bunga gentian di sebelah tirai terdapat
ember kayu baru, dengan ciduk bergagang bambu. Ganryu, yang sudah tak sabar
karena lama menanti, minta minum air, dan sekarang beristirahat dalam bayangan
tirai.
Tempat Nagaoka Sado
ada di sebelah Ganryu, sedikit lebih tinggi. la dikelilingi para pengawal dan
pembantu, sedangkan Iori ada di sampingnya. Ketika pengintai datang membawa
berita tersebut, wajah anak itu—bahkan juga bibirnya-berubah pucat. Sado duduk
dalam sikap resmi, tetap tanpa gerak. Ketopongnya bergeser sedikit ke kanan,
seakan-akan ia sedang memandang lengan kimononya. Dengan suara rendah ia
panggil nama Iori.
"Ya, Pak."
Iori membungkuk ke tanah, sebelum menengadah ke ketopong Sado. Karena tak dapat
mengendalikan kegembiraannya, sekujur tubuhnya menggeletar.
"Iori,"
kata Sado, memandang langsung anak itu. "Perhatikan semua yang terjadi.
Jangan lewatkan satu pun. Ingat-ingat, Musashi mempertaruhkan hidupnya buat
mengajarkan padamu apa yang akan kausaksikan sendiri."
Iori mengangguk.
Matanya meletikkan nyala, ketika ia menetapkan pandangan ke batu karang.
Cipratan ombak putih yang mengempas ke batu karang itu menyilaukan matanya.
Tempat itu sekitar dua ratus meter jauhnya, karena itu tak mungkin la melihat
gerak-gerak kecil dan napas para petarung. Namun bukan segi-segi teknis yang
diminta Sado untuk diperhatikannya, melainkan saat dramatis ketika seorang
samurai memasuki perjuangan hidup dan mati. Inilah yang akan terus hidup di
dalam pikirannya, dan mempengaruhinya sepanjang hidup.
Rumput bergoyang naik
dan turun. Serangga-serangga kehijauan melejit ke sana kemari. Seekor kupu-kupu
kecil yang lembut bergerak dari lembar rumput yang satu ke lembar lain,
kemudian tak kelihatan lagi. "Dia hampir sampai," gagap Iori.
Perahu Musashi
menghampiri batu karang pelan-pelan. Hampir tepat jam sepuluh waktu itu.
Ganryu berdiri dan
berjalan tenang menuruni bukit kecil di belakang pos penantian. Ia membungkuk
kepada para pejabat di sebelah kanan dan kirinya, lalu berjalan diam melintasi
rumput, ke pantai.
Jalan masuk pulau itu
mirip sebuah teluk kecil. Di situ gelombang berubah menjadi ombak-ombak kecil,
kemudian menjadi riak-riak air semata. Musashi dapat melihat dasarnya lewat air
yang biru jernih.
"Di mana mesti
mendarat?" tanya Sasuke yang melembutkan gerak dayungnya, dan meninjau
pantai dengan matanya.
"Lurus
saja." Musashi melontarkan mantel lapisnya.
Haluan perahu maju
dengan sangat perlahan. Sasuke tak dapat memaksa diri mendayung dengan kuat.
Kedua tangannya hanya sedikit bergerak, dan ia hanya sedikit mengerahkan
tenaga. Bunyi burung bulbul terdengar di udara.
"Sasuke."
"Ya, Pak."
"Cukup dangkal
di sini. Tak perlu terlalu masuk. Tak perlu merusakkan perahu. Dan lagi, sudah
waktunya pasang balik."
Diam-diam Sasuke
memusatkan pandangan pada pohon pinus yang tinggi kurus dan tegak sendirian. Di
bawahnya angin memainkan sebuah jubah merah cemerlang.
Sasuke hendak
menunjuk, tapi kemudian sadar bahwa Musashi sudah melihat lawannya. Sambil
terus menatap Ganryu, Musashi mengambil saputangan warna cokelat muda dari
dalam obi-nya, melipatnya dua kali membujur, kemudian mengikatkan ke rambutnya
yang tertiup angin. Lalu ia pindahkan pedang panjangnya, ia letakkan ke dasar
perahu, dan ia tutupi dengan tikar buluh. Dengan tangan kanan ia genggam pedang
kayu yang ia buat dari dayung rusak tadi.
"Ini cukup
jauh," katanya pada Sasuke.
Di hadapan mereka,
air masih hampir enam puluh meter lebarnya. Sasuke membuat beberapa tarikan
panjang dayung buritan. Perahu mendompak dan mendarat ke beting, hingga
lunasnya bergetar.
Waktu itulah Musashi
melompat ringan ke dalam laut, dengan hakama terkait tinggi di kedua sisinya.
Ia mendarat begitu ringan, hingga air hampir tidak berkecipak. Lalu ia
melangkah cepat ke garis air, sementara pedang kayunya memotong cipratan air.
Lima langkah. Sepuluh
langkah. Sasuke sudah lupa akan dayungnya. Ia memperhatikan dengan terpesona,
tak sadar di mana ia berada, dan apa yang sedang ia lakukan.
Ganryu meluncur
meninggalkan pohon pinus, seperti sehelai pita merah. Sarung pedangnya yang
disemir, berkilau oleh sinar matahari.
Sasuke teringat akan
ekor rubah perak. "Cepat!" perkataan itu melintas dalam pikirannya,
tapi waktu itu juga Ganryu sudah sampai di tepian air. Yakin bahwa Musashi
pasti tewas, ia tak tahan melihat. Ia jatuh dengan wajah telungkup ke perahu,
tubuhnya dingin gemetar. la sembunyikan wajahnya, seakan-akan ia sendirilah
yang setiap saat akan terbelah menjadi dua.
"Musashi!"
Ganryu menancapkan
kaki dengan mantap di pasir, tak hendak mundur satu inci pun.
Musashi berhenti dan
berdiri diam, menjadi permainan air dan angin. Wajahnya tampak menyeringai.
"Kojiro,"
katanya tenang. Matanya memancarkan keganasan yang menakutkan, mata dengan
kekuatan yang dapat menyeret demikian dahsyat, hingga mengancam dan menghela
Kojiro tanpa dapat ditawar-tawar lagi ke dalam bencana dan kehancuran. Ombak
membasahi pedang kayunya.
Mata Ganryu
menembakkan api. Nyala haus darah berkobar di dalam bola matanya, seperti
pelangi pekat padat yang menggertak dan melemaskan.
"Musashi!"
Tak ada jawaban.
"Musashi!"
Laut berdebur penuh
pertanda di kejauhan; air pasang berdesir dan berbisik di kaki kedua orang itu.
"Kau terlambat
lagi, ya? Apa itu strategimu? Menurutku, itu cara pengecut! Sekarang ini dua
jam lewat waktu yang ditentukan. Aku datang jam delapan, tepat seperti
kujanjikan. Aku menanti!"
Musashi tak menjawab.
"Kau pernah
melakukan ini di Ichijoji, dan sebelum itu di Rengeoin. Rupanya kau sengaja
ingin menjatuhkan lawan dengan memaksanya menunggu. Akal macam itu takkan
membawamu ke mana-mana, kalau lawanmu Ganryu. Sekarang siapkan dirimu dan maju
dengan berani, supaya angkatan kemudian takkan menertawakanmu. Ayo maju dan
bertempur, Musashi!" Ujung sarung pedangnya mencuat tinggi di belakangnya,
ketika ia menarik Galah Pengering yang besar itu. Dengan tangan kiri ia
loloskan sarung pedang itu, dan ia lemparkan ke air.
Sesudah menanti cukup
lama, sampai ombak mengempas ke batu karang dan surut kembali ke laut, Musashi
tiba-tiba berkata dengan suara tenang, "Kau kalah, Kojiro!"
"Apa?"
Ganryu kaget setengah mati.
"Pertarungan
sudah selesai. Kau kalah, kataku."
"Kau bicara
apa?"
"Kalau kau bakal
menang, kau takkan membuang sarung pedangmu. Kau telah membuang masa depanmu,
hidupmu."
"Kata-kata saja!
Omong kosong!"
"Sayang sekali,
Kojiro. Sudah siap jatuh? Kau mau cepat?"
"Ayo... ayo maju, bajingan!"
"Ho-o-o!"
Teriakan Musashi dan bunyi air bergabung membubung menjadi satu.
Ganryu melangkah ke
dalam air, Galah Pengering diangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Ia hadapi
Musashi langsung. Garis buih putih melintas di permukaan laut, ketika Musashi
berlari naik pantai ke sisi kiri Ganryu. Ganryu mengejar.
Begitu kaki Musashi
meninggalkan air dan menyentuh pasir, hampir pada saat itu juga pedang dan
seluruh tubuh Ganryu melontar kepadanya, seperti ikan terbang. Musashi merasa
Galah Pengering mengarah kepadanya, padahal tubuhnya masih berada pada akhir
gerak yang tadi membawanya keluar dari air, dan sedang condong sedikit ke
depan.
Ia pegang pedang
kayunya dengan kedua tangan, terjulur ke kanan, ke arah belakang tubuh, sedikit
tersembunyi. Puas dengan kedudukannya, ia setengah bergumam dengan suara hampir
tak berbunyi, mengembus ke depan wajah Ganryu. Galah Pengering kelihatannya sudah
hampir turun menebas, namun pedang itu bergetar sedikit, kemudian berhenti.
Tiga meter dari Musashi, Ganryu mengubah arah dengan melompat cekatan ke kanan.
Kedua orang itu
saling pandang. Musashi, yang berada dua-tiga langkah dari air, membelakangi
laut. Ganryu menghadapinya dengan pedang teracung tinggi dalam kedua tangan.
Hidup mereka berdua
sama-sama terserap ke dalam pertarungan mematikan itu, dan keduanya sama-sama
kosong dari pikiran sadar.
Adegan pertempuran
itu terhenti sempurna. Tapi di pos-pos penantian dan di atas bunyi ombak, tak
terhitung jumlahnya orang menahan napas. Di atas Ganryu melayang-layang doa dan
harapan orang-orang yang percaya kepadanya dan menginginkannya hidup terus,
sedangkan di atas
Musashi doa dan
harapan dari orang-orang lain lagi. Dari Sado dan Iori yang ada di pulau itu.
Dari Otsu, Osugi, dan Gonnosuke di pantai Shimonoseki. Dari Akemi dan Matahachi
di bukit mereka di Kokura. Seluruh doa mereka tertuju ke surga.
Di sini harapan, doa,
dan dewa-dewa tak mampu membantu, tidak juga kesempatan. Yang ada hanya
kekosongan tidak berpribadi dan sepenuhnya tidak memihak.
Apakah kekosongan
ini, yang demikian sukar dicapai oleh orang hidup, merupakan ekspresi jiwa yang
sempurna, yang telah berhasil mengatasi pikiran dan gagasan-gagasan yang lebih
mulia?
Kedua orang itu
bicara tanpa membuka suara. Kemudian masing-masing, tanpa sadar, menyadari
kehadiran pihak lainnya. Pori-pori mereka menonjol seperti jarum-jarum yang
terarah pada lawan.
Otot, daging, kuku,
rambut, bahkan alis-semua unsur tubuh yang mengambil bagian dalam hidup
ini-bergabung menjadi satu kekuatan tunggal melawan musuh, mempertahankan
organisme hidup yang menjadi induknya. Hanya jiwa itu sendiri yang bersatu
dengan alam semesta, jernih dan tenteram, seperti pantulan bulan di atas air
kolam, di tengah topan yang mengamuk. Bisa mencapai kediaman yang luhur lm
merupakan pencapaian yang sungguh luar biasa.
Jeda itu serasa
berlangsung beribu tahun, padahal sesungguhnya singkat saja, sepanjang waktu
yang dibutuhkan oleh ombak untuk datang dan menarik diri setengah lusin kali.
Kemudian satu pekik
dahsyat—yang bukan sekadar suara, dan berasal dari dalam lubuk makhluk
hidup-memorakporandakan detik penuh ketegangan tersebut. Pekik itu datang dari
Ganryu, yang segera disusul pekikan Musashi.
Kedua orang itu
berteriak seperti ombak yang marah melecut pantai karang, melambungkan semangat
mereka ke langit. Pedang si penantang terangkat sedemikian tinggi, hingga
seakan mengancam matahari dan membelah udara seperti pelangi.
Musashi mendorong
bahu kirinya ke depan, menarik kaki kanannya ke belakang, dan mengubah letak
tubuh bagian atas pada kedudukan setengah menghadap lawan. Pedang kayu yang
dipegangnya dengan dua tangan, menyapu menembus udara, dan serentak dengan itu,
ujung Galah Pengering turun langsung di depan hidungnya.
Napas kedua orang
yang sedang berlaga itu terdengar lebih keras dari bunyi ombak. Sekarang pedang
kayu dijulurkan pada ketinggian mata, sedangkan Galah Pengering jauh di atas
pembawanya. Ganryu meloncat sekitar sepuluh langkah, dan laut kini ada di
sisinya. Walaupun tak berhasil melukai Musashi dengan serangan pertama, ia
berhasil meletakkan dirinya pada kedudukan yang lebih baik. Sekiranya ia
tinggal pada kedudukan semula, dengan pantulan sinar matahari di air yang
menerjang matanya, pandangannya pasti akan segera goyah, kemudian juga
semangatnya, dan ia akan jatuh dalam kekuasaan Musashi.
Dengan keyakinan yang
sudah diperbarui, Ganryu mulai beringsut ke depan dan terus menajamkan
pandangan, mencari peluang dalam pertahanan Musashi. Ia membajakan semangatnya
sendiri, untuk melakukan gerakan yang menentukan.
Sementara itu,
Musashi membuat gerakan tak terduga. Ia bukannya maju pelan-pelan dan
hati-hati, tapi melangkah tegap ke arah Ganryu, pedangnya terulur di depan,
siap dihunjamkan ke mata Ganryu. Kesederhanaan caranya itu membuat Ganryu
tertegun. Ia hampir kehilangan pandangan atas Musashi.
Pedang kayu Musashi
terangkat lurus di udara. Dengan satu tolakan besar, Musashi melompat tinggi,
dan sambil melipat kaki ia mengecilkan tubuhnya yang tingginya 180 senti itu
menjadi 120 senti atau kurang.
"Y a-a-ah!"
Pedang Ganryu menjerit membelah ruang di atasnya. Pukulannya tak mengena, tapi
ujung Galah Pengering menetak ikat kepala Musashi, hingga ikat kepala itu
terbang ke udara.
Ganryu mengira ikat
kepala itu kepala lawan, dan seulas senyum meletik singkat di wajahnya. Tapi
detik berikutnya batok kepalanya pecah seperti kerikil, terkena pukulan pedang
Musashi.
Ganryu terbaring di
batas antara pasir dan rumput. Di wajahnya tak terlihat kesadaran akan
kekalahan. Darah mengalir dari mulutnya, tapi bibirnya menyunggingkan senyum
kemenangan.
"Oh,
tidak!"
"Ganryu!"
Lupa akan dirinya,
Iwama Kakubei meloncat dengan wajah terguncang, begitu pula semua pengiringnya.
Kemudian terlihat olehnya Nagaoka Sado dan Iori yang duduk tenang dan sabar di
bangku mereka. Merasa malu, mereka menahan diri untuk tidak lari ke depan.
Sedapatnya mereka mencoba memperoleh kembali ketenangan, namun kesedihan dan
kekecewaan tak dapat disembunyikan. Beberapa orang sukar menelan ludah, dan tak
hendak mempercayai apa yang mereka lihat. Otak mereka jadi kosong.
Dalam sesaat, pulau
itu senyap dan diam, seperti sebelumnya.
Hanya gemeresik pohon
pinus dan rumput yang berayun-ayun mengejek kerapuhan dan kefanaan umat
manusia.
Musashi memperhatikan
segumpal awan kecil di langit. Ketika itulah jiwanya kembali ke tubuhnya, dan
baru waktu itulah ia melihat beda antara awan dan dirinya, antara tubuhnya dan
alam semesta.
Sasaki Kojiro Ganryu
tidak kembali ke dunia orang hidup. Ia terbaring tertelungkup dengan tangan
masih mencengkeram pedang. Ketangguhan masih tampak pada sosoknya. Pada
wajahnya tak ada tanda-tanda penderitaan. Tiada lain kecuali kepuasan, karena
telah menjalani perkelahian yang baik, dan tak ada sedikit pun bayangan
penyesalan.
Melihat ikat
kepalanya sendiri tergeletak di tanah, Musashi jadi menggigil. Takkan pernah
lagi dalam hidupnya ia menjumpai lawan seperti ini, demikian pikirnya.
Gelombang rasa kagum dan hormat melandanya. Ia berterima kasih pada Kojiro atas
apa yang telah diberikan kepadanya. Dalam hal kekuatan, dalam hal tekad tempur,
Kojiro setingkat lebih tinggi dari Musashi. Justru karena itulah Musashi
terpaksa mesti meningkatkan kemampuan dirinya sendiri, hingga bisa lebih hebat
lagi dari Kojiro.
Apa gerangan yang
memungkinkan Musashi mengalahkan Kojiro? Keterampilannya? Bantuan para dewa?
Musashi tahu bahwa bukan itu jawabannya, namun ia tak pernah dapat
mengungkapkan alasan itu dalam kata-kata. Sudah pasti alasan itu sesuatu yang
lebih penting daripada kekuatan ataupun pertolongan dewa.
Kojiro meletakkan
keyakinannya pada pedang kekuatan dan keterampilan. Musashi mempercayakannya
pada pedang semangat. Itulah satu-satunya beda di antara mereka.
Tanpa mengucapkan
sepatah kata pun, Musashi berjalan menempuh sepuluh langkah yang memisahkan
dirinya dari Kojiro, dan berlutut di sampingnya. Ia letakkan tangan kirinya ke
dekat lubang hidung Kojiro, dan ia rasakan masih ada jejak napas. "Dengan
perawatan yang tepat, dia masih bisa pulih," kata Musashi pada diri
sendiri. Ia ingin mempercayai kata-katanya itu, dan ia ingin mempercayai juga,
bahwa orang yang paling gagah berani di antara semua lawannya itu akan
diselamatkan.
Tapi pertempuran
sudah usai. Sudah waktunya ia pergi.
"Selamat
tinggal," katanya pada Kojiro, kemudian kepada para pejabat yang duduk di
bangku.
la bersujud satu kali
ke bumi, kemudian lari ke batu karang, dan melompat ke dalam perahu. Tidak
setetes darah pun menodai pedang kayunya.
Perahu kecil itu
melaut. Siapa yang tahu, ke mana arahnya? Tak ada catatan, apakah para
pendukung Ganryu di Pulau Hikojima mencoba membalas dendam.
Manusia tak pernah
meninggalkan rasa cinta dan benci selama hidupnya. Gelombang perasaan datang
dan pergi, bersama seiring dengan waktu. Sepanjang hidup Musashi, ada saja
orang-orang yang membenci kemenangannya dan mengecam tingkah lakunya pada hari
itu. Dikatakan, ia bergegas pergi karena takut akan pembalasan. Ia bingung. Ia
bahkan lalai memberikan pukulan untuk mengakhiri derita Kojiro.
Dunia ini selalu
penuh dengan bunyi gelombang.
Ikan-ikan kecil
menyerahkan diri mereka kepada gelombang, menari, menyanyi, dan bermain, tapi
siapa yang bisa mengenal hati laut tiga puluh meter di bawahnya? Siapa yang
kenal akan kedalamannya?
(TAMAT)